Seiring dengan kemajuan zaman, sering kita jumpai manusia-manusia yang mengabaikan, memandang sebelah mata dalam arti tidak mau mengakui keberadaan Madzahibul Arba’ah. Bahkan secara eksplisit mereka berani memploklamirkan diri sebagai golongan yang memiliki potensi dan layak menyandang title mujtahid mutlak. Mereka berkeyakinan mampu memutuskan permasalahan-permasalahan agama yang dihadapi dengan hanya berpegang pada Al Qur’an dan Al Hadits menurut interpretasi yang mereka miliki. Hal ini sesuai dengan slogan yang sering di gembor-gemborkan oleh Ibnu Taimiyah dan para pengekornya “Marilah kita kembali pada Al Qur’an dan Al Hadits, Marilah kita buka kembali pintu ijtihad dan marilah kita buang jauh-jauh pintu taqlid”. Slogan ini kemudian di dengungkan oleh orang-orang yahudi yang beratribut Islam(22)
Dikui ataupun tidak, mereka hanyalah komunitas manusia yang tidak punya jatidiri dalam permasalahan agama, sehingga akal dan persepsi yang mereka miliki sangatlah labil, juga tidak pernah konsis dalam menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi, dalam satu permasalahan terkadang mereka menghukumi haram, namun dalam kesempatan yang lain justru menghukumi halal. Sekilas pandang mereka nampak kompak & bersatu, tapi realitanya mereka bercerai berai, hal ini disebabkan adanya perbedaan pendapat yang signifikan di antara mereka karena masing-masing dari mereka merasa memiliki potensi dalam menggali suatu hukum.
Bagaimana mungkin mereka layak disebut sebagai mujtahid sedangkan modal dasar untuk berijtihad tidak mereka miliki, disamping itu mereka mengingkari serta enggan bertaqlid kepada salah satu imam madzahibul arba’ah dan hanya mengikuti pemimpin mereka yang notabene ialah orang sesat, bahkan mereka berani mengharamkan taqlid tersebut, namun ironisnya tanpa disadari mereka tidak bisa melepaskan diri dari jeratan belenggu taqlid yang mengikat mereka, sebab seseorang tidak bisa di anggap lepas dari belenggu taqlid apabila ia belum mengetahui dalil dari sebuah hukum berikut cara penggaliannya (istinbatul ahkam) dengan pemikirannya sendiri tanpa bertanya kepada orang lai, sedangkan mereka beranggapan bahwa jika seseorang dengan sekedar bertanya tentang suatu dalil kemudian dijawab maka sudah terlepas dari taqlid.
Mereka hanyalah orang-orang yang terperdaya oleh hawa nafsu, mudah terbawa arus serta terbuai dalam aqidah yang sesat, sehingga mereka berasumsi bahwa membatasi diri dengan salah satu madzahibul arba’ah merupakan dinding pemisah dan pintu besi diantara mereka dan keinginan pribadi, oleh karena itu demi tercapainya suatu tujuan yang busuk mereka membuang taqlid secara keseluruhan dan beralih pada jalan ijtihad yang notabene merupakan hal yang impossible bagi mereka. Mungkin ibarat yang paling tepat bagi mereka adalah “Bagaikan pungguk yang merindukan bulan”.
Menurut golongan Ahli Sunnah Wal Jama’ah, orang yang ingin mengamalkan ajaran Islam dengan jalan ijtihad sendiri maka ia harus memenuhi persyaratan yang sangat ketat sebagai berikut:
§ Harus benar-benar mengetahui ayat-ayat suci Al Qur’an dan Al Hadits yang berkaitan dengan hukum
§ Mengetahui Fiqih baik dari qoidah-qoidah dan semua permasalahannya
§ Harus mengetahui hal ihwal para perawi Hadits mengenai adil atau tidaknya
§ Mengetahui lafadz-lafadz yang bersifat ‘am, mujmal, mutlaq, muqayyad, nasikh, mansukh, nash, dzohir, muhkamat dan mutasyabihat. (menguasai fan Ushul Fiqih)
§ Menguasai ilmu bahasa arab, ilmu lughot, ilmu nahwu shorof
§ Mengetahui ijma’ dan qoul-qoul ulama fiqih
§ Mengetahi khilafiyyah yang terjadi di antara para ulama
§ Dan masalah-masalah lain yang erat kaitannya dengan kepentingan ijtihad (23)
Meskipun mereka bisa dikatakan sebagai mujtahid, tapi sebatas dalam hal mengeksploitir dalil agar lepas dari ikatan taqlid yang melilit diri mereka. Mereka memiliki semboyan “Kami adalah kaum cendekiawan yang punya IQ tinggi, pendapat yang cemerlang dan telah mencapai taraf kesempurnaan dalam berfikir”. Tapi sayangnya semua itu digunakan sebagai penunjang untuk mengumbar kesenangan dan memenuhi kebutuhan yang dapat menghantarkan mereka untuk menghalalkan segala sesuatu. Mereka dalam mengumbar kesenangan seperti binatang ternak yang merumput dipadang yang subur. Bila mereka tidak layak disebut sebagai golongan Ibahiyyun, maka sebutan yang tepat untuk mereka adalah Hasyawiyyun.
NAFSU DALAM BERIJTIHAD
Kaum Ibahiyyun adalah golongan yang berasumsi bahwa seorang hamba apabila telah mencapai puncak mahabbah , serta hatinya tak pernah lalai danmemprioritaskan imanIkepada Allah ketimbang kufur maka ia sudah tidak terkena taklif (tuntutan hukum kedalam neraka sebabIsyara’) serta tidak akan dimasukkan Allah melakukan dosa besar.(24)
Imam Dasuqi menuturkan “Golongan hasyawiyyah ialah golongan yang terisolir yang selalu kontroversi dengan pendapat jumhur ulama”. Munculnya golongan Hasyawiyyah berawal dari perseteruan yang terjadi antara mereka dengan Hasan Al Bashri, pada mulanya mereka berada dibarisan depan dalam sebuah seminar (halaqoh). Kemudian setelah dinilai mereka selalu kontra persepsi dengan jama’ah maka akhirnya di usir dari barisan depan majlis pindah kea rah pinggiran (janibil halaqoh).
Imam Taqiyuddin Assubki menuturkan “Kaum Hasyawiyyah merupakan sekelompok orang yang hina yang mengklaim sebagai pengikut setia Imam Ahmad bin Hanbal, sedangkan realitanya jauhnya panggang daripada api karena i’tiqad mereka tidak sama dengan beliau”.
Kaum Hasyawiyyah dalam menginterpretasi argument Imam Hambali banyak melakukan kekeliruan, sehingga para pengikut merekapun terjerumus dalam kesalahan yang sama. Sejak meninggalkan halaqoh mereka selalu saja terisolir serta tidak memiliki sosok figure pemimpin yang berwibawa dan bijaksana dalam mengambil suatu keputusan bersama. Dalam memprogandakan fahamnya ke masyarakat luas Imereka selalu menjalin birokrasi dengan pemerintah, namun Allah menghendaki lain sehingga meski mereka selalu berupaya melakukan perluasan demi kepentingan golongan tetapi ternyata tidak ada seorangpun yang ingin berhubungan serta menganut ideology mereka, kecuali ia akan mendapatkan kemalangan dan kesialan.
Tipu muslihat yang mereka lancarkan dalam meluaskan pengaruh adalah dengan meracuni i’tiqod para ulama Syafi’iyyah dan yang lain yang keluar dari pendapatnya jumhur ulama, terutama orang-orang yang berkecimpung dalam mempelajari Hadits tanpa mengukuhkan ilmu syari’at terlebih dahulu, sehingga merekapun menganggap golongan Hasyawiyyah berbicara sesuai Hadits.
Imam Ibnu Asakir (salah satu ulama Hadits yang terkemuka pada saat itu) tidak berkenan meriwayatkan Hadits pada golongan Hasyawiyyah dan tidak memberikan izin untuk menghadiri halaqoh beliau, karena khawatir mereka akan memanipulasi Hadits untuk kepentingan mereka. Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Nuruddin As Syahid.*islamtradisionalis
No comments:
Post a Comment